Pernah dalam satu buku saya membaca bahasan mengenai hukum
safar wanita, saya betul-betul penasaran dengan pembahasan ini karena saya
sendiri sering melakukan perjalanan seorang diri tanpa ditemani siapapun.
Saking penasarannya saya banyak membaca tulisan dan mencari ceramahnya, ya Rabb
ampuni saya baru tahu sekarang. Sekali lagi islam betul-betul memuliakan
wanita, sendi-sendi kehidupan diatur sedemikian rinci, tak luput dari hal kecil
sekalipun, Alloh memang Maha Segala-galanya, Mashaa Alloh. Adapun penjelasan
safarnya secara umum dan beberapa pembahasan yang saya dapatkan dari
rumahfiqih.com, edukasi kompasiana dan lainnya, saya rangkum sebagai berikut:
Safarnya para wanita tanpa mahram |
Musafir itu adalah
isim fail dari kata dasar yang berbentuk kata kerja : safar. Safar adalah
melakukan perjalanan, sedangkan musafir adalah orang yang menjadi pelaku atau
orang yang melakukan safar. Lawan dari musafir adalah muqim. Muqim adalah isim
fail dari kata dasar aqama - yuqimu
yang artinya menetap atau bertempat tinggal. Muqim berarti bertempat tinggal
atau menetap.
Secara etimologis, kata safar dalam bahasa Arab bermakna qath'ul-masafah (قَطْعُ الْمَسَافَةِ),
yaitu perjalanan menempuh suatu jarak tertentu. Safar adalah “berpergian” namun
tanpa dibatasi dengan jarak perjalanannya (menurut pendapat yang lebih kuat).
Maksudnya, jarak safar ditentukan oleh urf
(kebiasaan). Jika kebiasaan masyarakat setempat mengatakan “perjalanan
tersebut” termasuk safar/berpergian maka orang tersebut dikenakan hukum safar
seperti sunnahnya mengqasar shalat (yang 4 rakaat menjadi 2 rakaat).
Namun dalam istilah para fuqaha
(ahli fiqih) yang dimaksud dengan safar bukan sekedar seseorang pergi dari satu
titik ke titik yang lain. Namun makna safar dalam istilah para fuqaha adalah :
أَنْ يَخْرُجَ الإنْسَانُ مِنْ وَطَنِهِ قَاصِدًا
مَكَانًا يَسْتَغْرِقُ الْمَسِيرُ إِلَيْهِ مَسَافَةً مُقَدَّرَةً عِنْدَهُمْ
Seseorang keluar dari negerinya untuk menuju ke satu tempat
tertentu, yang perjalanan itu menempuh jarak tertentu dalam pandangan mereka
(ahli fiqih).
Para ulama sepakat bahwa agar suatu tindakan dikatakan sebagai safar, maka ada beberapa syarat yang harus dipenuhi, antara lain harus ada niat atau kesengajaan untuk melakukan safar, musafirnya harus keluar dan meninggalkan dari tempat dia bermuqim sebelumnya, juga harus punya tujuan tertentu, kemudian juga harus ada jarak tertentu yang minimal untuk dilalui.
Para ulama sepakat bahwa agar suatu tindakan dikatakan sebagai safar, maka ada beberapa syarat yang harus dipenuhi, antara lain harus ada niat atau kesengajaan untuk melakukan safar, musafirnya harus keluar dan meninggalkan dari tempat dia bermuqim sebelumnya, juga harus punya tujuan tertentu, kemudian juga harus ada jarak tertentu yang minimal untuk dilalui.
Semua ketentuan safar di atas akan berakhir bila terjadi
hal-hal tertentu, dimana hukum-hukum yang tadinya berlaku untuk musafir pun
tidak lagi berlaku. Di antara hal-hal yang mengakhiri hukum safar adalah tiba
kembali ke tempat asal, atau tiba di tempat muqim yang lain, atau berniat untuk
menetap di suatu tempat dalam waktu tertentu untuk sementara waktu.
a. Tiba Kembali Ke
Tempat Asal
Bila seseorang telah selesai melakukan perjalanan dan telah
kembali ke tempat asalnya, yaitu rumah tempat tinggalnya, maka berakhirlah
hukum safar atasnya. Dalam hal ini tidak ada perbedaan, apakah perjalanan yang
dilakukannya hanya 1 jam saja atau pun memakan waktu berbulan-bulan. Pokoknya, asalkan
dia sudah tiba di rumahnya, maka otomatis sudah selesai perjalanannya. Dan
walaupun niatnya cuma pulang sebentar saja dan langsung pergi lagi, secara
hukum tetap saja dianggap sudah selesai dari safarnya pada saat sudah berada di
rumah.
b. Tiba di Tempat
Lain Yang Hukumnya Tempat Muqim
Bila seseorang punya dua tempat muqim atau lebih, meski
bukan rumah miliknya sendiri, maka pada tempat-tempat yang hukumnya juga
berlaku sebagai tempat muqim itu, juga berlaku hukum untuk bermuqim. Contohnya
adalah Rasulullah SAW yang aslinya tinggal di Mekkah. Ketika beliau hijrah ke
Madinah, memang saat itu beliau berniat untuk menjadikan kota itu sebagai
tempat tinggal keduanya. Maka selama tinggal di Madinah, beliau tidak pernah
mengqashar atau menjama' shalat. Sebab hukum kota Madinah bagi beliau SAW
adalah tempat muqim, meski beliau bukan asli orang Madinah. Ketika Anda memutuskan untuk tinggal di suatu tempat,
katakanlah di Jerman, dengan tujuan kuliah, tentu saja hukum Jerman buat
Anda ibarat hukum Madinah buat Rasulullah SAW. Tidak ada istilah musafir,
karena pada kenyataannya Anda dan Rasulullah SAW sama-sama menetap dalam kurun
waktu yang lama. Kemusafiran anda hanya sebatas anda di atas kendaraan,
terhitung setelah keluar dari salah satu rumah anda di dua tempat berbeda itu,
dan berakhir ketika anda sudah sampai di salah satu dari dua tempat anda yang
lain.
c. Niat Menetap
Sementara Lebih Dari Empat Hari
Hukum safar juga berakhir ketika seseorang dalam suatu
perjalanannya, berhenti dan berniat untuk menetap sementara lebih dari empat
hari. Dasarnya adalah apa yang dilakukan oleh Rasulullah SAW ketika melakukan
perjalanan haji di tahun kesepuluh hijriyah. Dari fakta itu maka
kebanyakan ulama menarik kesimpulan, bahwa apabila seseorang menetap untuk
sementara, tanpa niat untuk menetap seterusnya di suatu tempat di antara
perjalanan safarnya, maka selama durasi empat hari, dia masih terbilang sebagai
musafir. Akan tetapi bila durasi itu melebihi empat hari, maka hitungannya
secara hukum sudah dianggap bermuqim. Walau pun niatnya tidak muqim, tetapi
hukumnya hukum orang yang muqim. Oleh karena itu semua fasilitas kebolehan
dalam safar sudah tidak lagi berlaku.
Ditilik dari domisili seseorang, dalam Fiqih terdapat tiga
istilah yaitu Mustawthin,Muqimin
dan Musafir. Perbedaan status
domisili ini berelasi juga terhadap beberapa hukum ibadah, terutama sholat.
Berikut adalah penjelasannya :
Musafir :
adalah orang yang sedang bepergian untuk tujuan tertentu. Jarak perjalanan yang
membuat orang dianggap sebagai musafir adalah kurang lebih 80 KM dan
lagi selama perjalanan orang tersebut tidak berencana untuk menetap di daerah
tertentu lebih dari 3 hari. Jika musafir berencana menetap di suatu tempat 3
hari atau lebih, maka statusnya bukan lagi musafir, dan juga jika perjalanannya
tidak lebih dari 80 KM, maka orang tersebut juga belum bisa disebut
sebagai musafir (secara Fiqih). Seorang musafir mempunyai
keistimewaan dalam melaksanakan ibadah, yaitu diperbolehkan Menjamak sholat
(mengerjakan 2 sholat dalam sekali waktu), diperbolehkan meng-qoshorsholat
(meringkas sholat dari 4 rekaat menjadi 2 rekaat), membatalkan puasa Romadhon
dan juga meninggalkan sholat Jum’ah (menggantinya dengan sholat dluhur).
Yang perlu digaris bawahi, privilege ini hanya berlaku bagi musafir
yang tujuan perjalanannya bukan untuk ma’shiat. Kalau tujuannya adalah untuk
ma’shiat seperti ngapelin pacar, ya tentu saja privilege ini hilang J
Muqimin :
ini yang sering disalah pahami karena kemiripannya dengan kata dalam bahasa
Indonesia “pemukim”. Status Muqimin adalah untuk orang yang melakukan
perjalanan lebih dari + 80 KM namun berencana menetap di suatu tempat
lebih dari 3 hari. Domisili selama lebih dari 3 hari ini bukan untuk menjadi
penduduk tetap dan di kala waktu ada rencana untuk pulang ke kampung halaman.
Contoh yang paling mudah dari orang yang berstatus muqimin adalah anak
kos, santri pondok dan juga mahasiswa yang sedang belajar di luar daerah. Orang
dengan status muqimin tidak lagi
mendapat privilege seperti musafir.
Mustawthin :
penduduk tetap adalah orang yang menetap di suatu daerah dan tidak akan pulang
ke daerah lain karena memang rumahnya adalah di situ. Atau lebih mudahnya,
alamat KTP-nya adalah di daerah tersebut. Tapi tentu saja ini
penentuan mustawthin bukan dilihat dari KTP tapi dari keinginan orang
itu sendiri. Kalau orang tersebut sudah menganggap daerah tersebut sebagai
rumah tempat tinggal tetapnya, maka orang tersebut sudah bisa disebut
sebagai mustawthin di tempat tersebut. Mustawthin tidak
mempunyai privilege seperti musafir dan tidak seperti muqimin.
Oya sahabat, bisa kita saksikan kenyataan di sekitar kita,
semakin banyak kaum Muslimah mengadakan safar tanpa didampingi oleh mahramnya,
termasuk saya L.
Dan ternyata amalan semacam ini tak lain hanya akan membawa kebinasaan bagi
wanita tersebut baik di dunia maupun di akhirat. Karena itu agama Islam yang
hanif memberikan benteng kepada mereka (kaum Muslimah) dalam rangka menjaga
dirinya, kehormatannya dan agamanya.
Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam bersabda:
“Janganlah wanita
melakukan safar selama 3 hari kecuali bersama mahramnya.” (Hadits shahih,
dikeluarkan oleh Bukhari 2/54, Muslim 9/106,Ahmad 3/7,
dan Abu Dawud 1727)
“Tidak halal bagi
seorang wanita yang beriman kepada Allah dan hari akhir melakukan safar (bepergian)
selama satu hari satu malam yang tidak disertai mahramnya.”
(HR. Bukhari, Muslim, Abu Dawud, At Tirmidzi, Ibnu Majah, dan Ahmad)
Dari Ibnu ‘Abbas radhiallahu ‘anhuma bahwasanya ia
mendengar Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam bersabda : “Janganlah seorang wanita melakukan safar
kecuali bersama mahramnya dan janganlah seorang laki-laki masuk
menjumpainya kecuali disertai mahramnya.” Kemudian seseorang bertanya : “Wahai Rasulullah ! Sungguh aku ingin keluar
bersama pasukan ini dan itu sedangkan istriku ingin menunaikan haji.” Maka
bersabda Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam : “Keluarlah bersama
istrimu (menunaikan haji).” (Dikeluarkan hadits ini oleh Muslim dan
Ahmad)
Diatas adalah sedikit gambaran mengenai safar dan safar
wanita. Semoga dengan kita mengetahui pembahasan mengenai hal iini khususnya
bagi wanita akan difikir-fikir lagi ya untuk melakukan perjalanan sendiri,
khususnya bagi saya yang dahulu punya keinginan untuk keliling Indonesia
sendiri, dan bagi saya juga ini merupakan suatu dukungan moral karena mendukung
agar saya tidak bekerja di travel sebagai tour
leader yang pekerjaannya harus menemani wisatawan mengunjungi berbagai
tempat berhari-hari. Begitu pula dengan perjalanan umroh, yang saya alami saat
mengurus dokumen perjalanan umroh bagi wanita yang dibawah usia tertentu
bepergian tanpa mahram harus disertakan biaya tambahan untuk surat mahram (dan
ternyata surat ini adalah pembuatan akta seorang wanita untuk dimahramkan
kepada orang lain, Subhanallah, sebetulnya apa boleh?) Duh islam sudah begitu
mulia menjaga wanita, patutnya kita bersyukur dan lebih bisa memuliakan diri,
difikirkan juga saat mempunyai keinginan untuk study di luar negeri jika hanya
sendiri J
Semoga bisa bermanfaat ya sahabat, semakin banyak tahu, semakin banyak berfikir deh. Banggalah menjadi seorang
muslimah. Wallohu A'lam Bishowab…