Setelah 8 bulan tidak menulis disini, akhirnya sekarang ada
kesempatan untuk menuangkan isi fikiran yang sudah lama ada di kepala. Dilihat
dari judulnya, bahasan ini memang kerap terjadi dalam kehidupan sosial kita,
terutama saya yang lahir dan tumbuh di desa kecil. Coretan kecil ini dibuat
sebagai curahan hati saya serta unek-unek
yang mengganjal hati dari sudut pandang saya pribadi, berdasarkan pengalaman
dan hal-hal yang terjadi di sekitar, bukan untuk memojokan orang lain atau
mengomentari suatu pihak, namun ini adalah gambaran secara umum yang memang
banyak orang rasakan.
It doesn't have to bi big, small is beautiful |
Resepsi pernikahan atau yang lebih kita kenal dengan hajatan bisa mengandug dampak positif dan negatif bagi pendengarnya. Satu sisi, saat seeorang mendengar kata hajatan, yang ada dalam fikirannya adalah acara syukuran, kebahagiaan, berkumpul, menyantap hidangan, namun disisi lain, bagi orang yang sedang dalam keadaan pas-pasan, mendegar seseorang akan menggelar hajatan adalah “stress” karena pada saat itu ia sedang tidak punya uang lebih untuk datang ke acara tersebut.
Pembukaan diatas hanyalah setitik tinta dalam sebuah kertas
kosong yang berarti masih banyak tempat untuk mengisi kekosongan tersebut,
dibawah ini saya akan menguraikan beberapa hal lain untuk melengkapi kertas
tersebut menjadi selembar kertas yang penuh tinta, hehe...
Hajatan itu sekali seumur hidup
Itu adalah kalimat yang sering terucap oleh tukang rias saat
menawarkan jasanya kepada “customer” agar
mereka membeli paket terbaik yang disediakan. Dengan alasan ini, maka si
pengantin harus terlihat paling menonjol dan menjadi pusat perhatian banyak
orang, ditambah dengan dekorasi yang bagus atau bahkan mewah serta hidangan
makanan yang super nikmat, juga dengan cenderamata yang khas dengan tulisan
kedua mempelai, serta pajangan foto-foto pre-wedding
yang menghiasi setiap sudut acara, sang pengantinpun rela menjama’ shalatnya
karena si tukang rias bilang “kalau wudhu nanti bedaknya luntur”, dan masih
banyak lagi. Dengan kata lain, dibalik itu semua, haruslah ada biaya yang tak
sedikit yang disediakan oleh kedua mempelai.
Pinjam uang di hajatan
Dalam kehidupan masyarakat kita pada umunya, tak sedikit
yang harus meminjam uang untuk menutupi biaya hajatan, dengan harapan, setelah
terselenggaranya acara tersebut, mereka bisa mengembalikan hutangnya. Demi
memenuhi gaya hidup, tuntutan pernikahan yang diidamkan, juga menutup gengsi di
lingkungannya, banyak orang tua yang rela menjual apa yang mereka punya dan
meminjam uang sebagai tanda kasih sayang untuk anaknya. Kalau difikir, mau
sampai kapan anak terus merepotkan orang tua dimulai sebelum lahir ke dunia
hingga entah kapan akhirnya. Yang saya rasakan, mereka senang merepotkan diri
da itulah yang telah mereka pilih.
Hajatan menutup jalan
Pada hari saat acara berlangsung, bagi mereka yang mempunyai
budget besar, mungkin akan memilih
menyewa gedung dan menyerahkan acaranya kepada wedding organizer untuk mengurangi
kerepotan, namun bagi masyarakat di desa yang rumahnya ada di sekitar jalan,
mereka akan memanfaatkan jalan sebagai lokasi penyimpanan kursi tamu untuk
prasmanan dan panggung dangdut sebagai hiburan. Yang dibutuhkan adalah,
membayar pada pihak tertentu untuk menutup jalan dan petugas kemanan sekitar.
Sungguh, hal ini amat sangat menyebalkan. Saya sebagai korban yang pernah
mengalami ini menggerutu dalam hati:”Kok
ya orang tega mementingkan kepentingan sendiri, padahal ini jalan umum, tapi malah
ditutup hanya demi mensukseskan acara mereka, jadi nyusahin banyak orang yang harus putar balik cari jalan alternatif,
hufffftttt.”
Hajatan sebagai wadah transaksi harus dikembalikan
Pernah gak kalian atau
orang tua kalian mengintip daftar catatan hutang kondangan untuk kembali
dibayarkan kepada si penyelenggara hajat? Itu yang terjadi pada ibu saya
sendiri, hhmmm. Ini mungkin hal yang lumrah bagi sebagian besar ibu-ibu, jadi
mereka akan mengembalikan sejumlah uang yang telah diterima pada saat menjadi
penyelenggara (itung-itung bayar hutang) atau
jika zamannya sudah berubah, maka uang tersebut akan dinaikan nominalnya, namun jika kita belum pernah terhutangi anggap saja ini sebagai
tabungan jika suatu saat akan hajatan, makan uang tersebut dipercaya akan
kembali, hahaha. Itulah prinsipnya.
Giliran gak kondangan, diomongin!
Pada acara reuni setelah lebaran kemarin, saya duduk disebelah
teman yang sudah menyelenggarakan hajatan dalam waktu yang cukup berdekatan,
lalu tanpa disengaja saya mendengar mereka bercerita tentang (Dalam bahasa
sunda yang sudah di translate) :”Eh si A kemarin datang ga ke hajatan kamu? Kok dia ga datang yah, padahal kan kita
kenal baik.” Dijawab:”iya ih gak
datang, nanti kalau dia hajatan, aku gak
usah datang deh, kan gak ada hutang.” Dalam benak saya, sekeras inikah
kehidupan setelah menjadi ibu-ibu? Jadi benarkah hajatan hanya ajang untuk
menabung dan bayar hutang? Bukan lagi sebagai ajang silaturahim dan saling
mendoakan. Kita tidak pernah tahu apa alasan seseorang tidak bisa menghadiri
hajatan, bisa karena saat itu ia sedang tidak ada disana, bisa jadi memang
sedang tidak ada rezeki untuk pergi, atau alasan lain yang memang tidak kita ketahui.
Sudah sampai sanakah fikiran kita? Atau berharap kedatangan tamu hanya untuk
amplopnya saja? Dan lucunya lagi, saat saya sampai rumah, dan menanyakan kepada
Ibu saya: “Mah, Neng kondangan gak ke
si ‘itu’?”. Dan dijawab:” Pas si ‘itu’
hajatan, Nenek meninggal, jadi Mamah boro-boro
kefikiran kondangan, Mamah nginep di rumah nenek beberapa malam.” Heloooohhhh??? Apakah yang mereka maksud
merka adalah saya yang kondisinya sedang di Australia, hahahahaha. Hal menggelitik
lain pada saat saya mengendarai motor, teman saya yang dibonceng bilang:”Neng
jangan jalan kesana, itu di depan ada teman SMA saya, kemarin saya gak kondangan, malu. Lewat jalan lain
saja.” Yang disimpulkan dari sini, Jangan
sampai tidak kondangan=putus tali silaturahim.
Balik modal dari kotak hajat
Setelah acara berlangsung, mungkin si pengantin akan sibuk
dengan dunianya sebagai penanti baru, namun bagi orang tua, mereka akan sibuk
membuka amplop yang ada di kotak. Mencatat semua uang masuk dan siap mengeposkan uang-uang tersebut untuk
menutupi pengeluaran belanja dapur atau sewa sound system, dll. Harapannya adalah, uang yang didapat semoga
bisa menutupi semua pengeluaran dan bisa membayar semua hutang. Jika ada lebih,
bisa untuk anaknya bulan madu. Tapi ironisnya, jika harapan tak sesuai
kenyataan, boro-boro balik modal,
malah harus nombok! Yang harus dilakukan
adalah, kehidupan awal si pengantin akan lebih keras karena harus mecicil semua
hutang, boro-boro buat nyicil rumah
atau ngontrak, tinggal saja masih harus numpang dengan orang tua.
Coretan diatas sepertinya tidak akan berlaku bagi orang-orang
kaya. Itu mungki hanya terjadi di kehidupan masyarakat menengah kebawah. Hal-hal
diatas bisa jadi karena didasari oleh kebiasaan masyarakat yang hingga saat ini
masih menempel meskipun zaman sudah secanggih ini. Banyak hal yang bisa
dipetik, teruatama bagi saya pribadi yang dari dulu tidak pernah mendambakan
memiliki pernikahan yang mewah, merepotkan banyak orang atau bahkan menyakiti
hati orang yang sebetulnya tidak bisa datang terkendala biaya, semua hal yang
nantinya akan berujung pada kata mubadzir,
saya hanya mengahrap keridha-an Sang Pencipta, namun yang ada dalam fikiran
saya belum tentu bisa diterima oleh orang-orang sekitar. Disaat seseorang
mengadakan acara sederhana, dikiranya “hamil duluan.” Semua kembali kepada niat
setiap orang, jika acara tersebut diniatkan untuk bersedekah, semoga hatinya
bersih tanpa mengharap orang memberikan sesuatu, semoga bisa tepat memberikan sedekah tersebut, bukan
hanya orang-orang mampu saja yang merasaknnya, tapi orang diluar sana yang sebetulnya
lebih membutuhkan bisa tersalurkan sedekahnya.
Disinilah pentingnya pendidikan untuk bisa memahami satu
sama lain. Pentingnya kita berfikir jauh kedepan dan mengukur kemampuan diri
dengan tidak memaksakan kehendak. Pada dasarnya, agama Islam selalu memudahkan
urusan umatnya, kadang “adat” lah yang meribetkannya.
Semoga Alloh senantiasa memberikan kita kemudahan untuk terus berada dalam
koridor Islam yang semestinya.