Friday, September 22, 2017

0 Drama "Hajatan dan Kondangan"

Setelah 8 bulan tidak menulis disini, akhirnya sekarang ada kesempatan untuk menuangkan isi fikiran yang sudah lama ada di kepala. Dilihat dari judulnya, bahasan ini memang kerap terjadi dalam kehidupan sosial kita, terutama saya yang lahir dan tumbuh di desa kecil. Coretan kecil ini dibuat sebagai curahan hati saya serta unek-unek yang mengganjal hati dari sudut pandang saya pribadi, berdasarkan pengalaman dan hal-hal yang terjadi di sekitar, bukan untuk memojokan orang lain atau mengomentari suatu pihak, namun ini adalah gambaran secara umum yang memang banyak orang rasakan.

It doesn't have to bi big, small is beautiful

Resepsi pernikahan atau yang lebih kita kenal dengan hajatan bisa mengandug dampak positif dan negatif bagi pendengarnya. Satu sisi, saat seeorang mendengar kata hajatan, yang ada dalam fikirannya adalah acara syukuran, kebahagiaan, berkumpul, menyantap hidangan, namun disisi lain, bagi orang yang sedang dalam keadaan pas-pasan, mendegar seseorang akan menggelar hajatan adalah “stress” karena pada saat itu ia sedang tidak punya uang lebih untuk datang ke acara tersebut.
Pembukaan diatas hanyalah setitik tinta dalam sebuah kertas kosong yang berarti masih banyak tempat untuk mengisi kekosongan tersebut, dibawah ini saya akan menguraikan beberapa hal lain untuk melengkapi kertas tersebut menjadi selembar kertas yang penuh tinta, hehe...

Hajatan itu sekali seumur hidup

Itu adalah kalimat yang sering terucap oleh tukang rias saat menawarkan jasanya kepada “customer” agar mereka membeli paket terbaik yang disediakan. Dengan alasan ini, maka si pengantin harus terlihat paling menonjol dan menjadi pusat perhatian banyak orang, ditambah dengan dekorasi yang bagus atau bahkan mewah serta hidangan makanan yang super nikmat, juga dengan cenderamata yang khas dengan tulisan kedua mempelai, serta pajangan foto-foto pre-wedding yang menghiasi setiap sudut acara, sang pengantinpun rela menjama’ shalatnya karena si tukang rias bilang “kalau wudhu nanti bedaknya luntur”, dan masih banyak lagi. Dengan kata lain, dibalik itu semua, haruslah ada biaya yang tak sedikit yang disediakan oleh kedua mempelai.

Pinjam uang di hajatan

Dalam kehidupan masyarakat kita pada umunya, tak sedikit yang harus meminjam uang untuk menutupi biaya hajatan, dengan harapan, setelah terselenggaranya acara tersebut, mereka bisa mengembalikan hutangnya. Demi memenuhi gaya hidup, tuntutan pernikahan yang diidamkan, juga menutup gengsi di lingkungannya, banyak orang tua yang rela menjual apa yang mereka punya dan meminjam uang sebagai tanda kasih sayang untuk anaknya. Kalau difikir, mau sampai kapan anak terus merepotkan orang tua dimulai sebelum lahir ke dunia hingga entah kapan akhirnya. Yang saya rasakan, mereka senang merepotkan diri da itulah yang telah mereka pilih.

Hajatan menutup jalan

Pada hari saat acara berlangsung, bagi mereka yang mempunyai budget besar, mungkin akan memilih menyewa gedung dan menyerahkan acaranya kepada wedding organizer untuk mengurangi kerepotan, namun bagi masyarakat di desa yang rumahnya ada di sekitar jalan, mereka akan memanfaatkan jalan sebagai lokasi penyimpanan kursi tamu untuk prasmanan dan panggung dangdut sebagai hiburan. Yang dibutuhkan adalah, membayar pada pihak tertentu untuk menutup jalan dan petugas kemanan sekitar. Sungguh, hal ini amat sangat menyebalkan. Saya sebagai korban yang pernah mengalami ini menggerutu dalam hati:”Kok ya orang tega mementingkan kepentingan sendiri, padahal ini jalan umum, tapi malah ditutup hanya demi mensukseskan acara mereka, jadi nyusahin banyak orang yang harus putar balik cari jalan alternatif, hufffftttt.”

Hajatan sebagai wadah transaksi harus dikembalikan

Pernah gak kalian atau orang tua kalian mengintip daftar catatan hutang kondangan untuk kembali dibayarkan kepada si penyelenggara hajat? Itu yang terjadi pada ibu saya sendiri, hhmmm. Ini mungkin hal yang lumrah bagi sebagian besar ibu-ibu, jadi mereka akan mengembalikan sejumlah uang yang telah diterima pada saat menjadi penyelenggara (itung-itung bayar hutang) atau jika zamannya sudah berubah, maka uang tersebut akan dinaikan nominalnya, namun jika kita belum pernah terhutangi anggap saja ini sebagai tabungan jika suatu saat akan hajatan, makan uang tersebut dipercaya akan kembali, hahaha. Itulah prinsipnya.

Giliran gak kondangan, diomongin!

Pada acara reuni setelah lebaran kemarin, saya duduk disebelah teman yang sudah menyelenggarakan hajatan dalam waktu yang cukup berdekatan, lalu tanpa disengaja saya mendengar mereka bercerita tentang (Dalam bahasa sunda yang sudah di translate)  :”Eh si A kemarin datang ga ke hajatan kamu? Kok dia ga datang yah, padahal kan kita kenal baik.” Dijawab:”iya ih gak datang, nanti kalau dia hajatan, aku gak usah datang deh, kan gak ada hutang.” Dalam benak saya, sekeras inikah kehidupan setelah menjadi ibu-ibu? Jadi benarkah hajatan hanya ajang untuk menabung dan bayar hutang? Bukan lagi sebagai ajang silaturahim dan saling mendoakan. Kita tidak pernah tahu apa alasan seseorang tidak bisa menghadiri hajatan, bisa karena saat itu ia sedang tidak ada disana, bisa jadi memang sedang tidak ada rezeki untuk pergi, atau alasan lain yang memang tidak kita ketahui. Sudah sampai sanakah fikiran kita? Atau berharap kedatangan tamu hanya untuk amplopnya saja? Dan lucunya lagi, saat saya sampai rumah, dan menanyakan kepada Ibu saya: “Mah, Neng kondangan gak ke si ‘itu’?”. Dan dijawab:” Pas si ‘itu’ hajatan, Nenek meninggal, jadi Mamah boro-boro kefikiran kondangan, Mamah nginep di rumah nenek beberapa malam.” Heloooohhhh??? Apakah yang mereka maksud merka adalah saya yang kondisinya sedang di Australia, hahahahaha. Hal menggelitik lain pada saat saya mengendarai motor, teman saya yang dibonceng bilang:”Neng jangan jalan kesana, itu di depan ada teman SMA saya, kemarin saya gak kondangan, malu. Lewat jalan lain saja.” Yang disimpulkan dari sini, Jangan sampai tidak kondangan=putus tali silaturahim.

Balik modal dari kotak hajat

Setelah acara berlangsung, mungkin si pengantin akan sibuk dengan dunianya sebagai penanti baru, namun bagi orang tua, mereka akan sibuk membuka amplop yang ada di kotak. Mencatat semua uang masuk dan siap mengeposkan uang-uang tersebut untuk menutupi pengeluaran belanja dapur atau sewa sound system, dll. Harapannya adalah, uang yang didapat semoga bisa menutupi semua pengeluaran dan bisa membayar semua hutang. Jika ada lebih, bisa untuk anaknya bulan madu. Tapi ironisnya, jika harapan tak sesuai kenyataan, boro-boro balik modal, malah harus nombok! Yang harus dilakukan adalah, kehidupan awal si pengantin akan lebih keras karena harus mecicil semua hutang, boro-boro buat nyicil rumah atau ngontrak, tinggal saja masih harus numpang dengan orang tua.

Coretan diatas sepertinya tidak akan berlaku bagi orang-orang kaya. Itu mungki hanya terjadi di kehidupan masyarakat menengah kebawah. Hal-hal diatas bisa jadi karena didasari oleh kebiasaan masyarakat yang hingga saat ini masih menempel meskipun zaman sudah secanggih ini. Banyak hal yang bisa dipetik, teruatama bagi saya pribadi yang dari dulu tidak pernah mendambakan memiliki pernikahan yang mewah, merepotkan banyak orang atau bahkan menyakiti hati orang yang sebetulnya tidak bisa datang terkendala biaya, semua hal yang nantinya akan berujung pada kata mubadzir, saya hanya mengahrap keridha-an Sang Pencipta, namun yang ada dalam fikiran saya belum tentu bisa diterima oleh orang-orang sekitar. Disaat seseorang mengadakan acara sederhana, dikiranya “hamil duluan.” Semua kembali kepada niat setiap orang, jika acara tersebut diniatkan untuk bersedekah, semoga hatinya bersih tanpa mengharap orang memberikan sesuatu, semoga  bisa tepat memberikan sedekah tersebut, bukan hanya orang-orang mampu saja yang merasaknnya, tapi orang diluar sana yang sebetulnya lebih membutuhkan bisa tersalurkan sedekahnya.


Disinilah pentingnya pendidikan untuk bisa memahami satu sama lain. Pentingnya kita berfikir jauh kedepan dan mengukur kemampuan diri dengan tidak memaksakan kehendak. Pada dasarnya, agama Islam selalu memudahkan urusan umatnya, kadang “adat” lah yang meribetkannya. Semoga Alloh senantiasa memberikan kita kemudahan untuk terus berada dalam koridor Islam yang semestinya.

Friday, January 6, 2017

1 Maaf, Saya berubah!

Hari ini sudah menginjak bulan Januari, artinya sudah hampir satu tahun saya tinggal di negeri kangguru. Banyak sekali suka duka yang dirasakan, entah lebih banyak sukanya, dukanya atau bahkan seimbang. Yang pasti, tahun pertama yang kebanyakan orang bilang sebagai tahun tersulit dalam menjalani suatu hal dan begitu pula yang saya rasakan. Banyak sekali air mata yang jatuh, kadang karena saking bahagia, sedih atau kesepian.

Banyak hal yang berubah pada diri ini, termasuk perubahan berat badan yang naik turun. Saat ini turun cukup lumayan, sekitar 4kg dari 3bulan kebelakang. Bisa disebabkan karena aktifitas fisik yang dirasa cukup berat, atau bisa pula karena kondisi fikiran dan perasaan yang selalu tidak stabil. Yap, saya sering merasakan rindu orang-orang disekitar saya dulu, saya rindu berkumpul dengan keluarga, dengan teman-teman, dengan siapapun orang yang ada disekeliling saya.

Selama saya tinggal disini, cenderung menjadi pribadi yang tertutup, terlebih lagi saya selah menarik diri dari lingkungan, itulah faktor utama saya merasa kesepian. Saya tidak punya teman!!! Disaat saya sedang berada di keramaian, tetap saja jiwa ini seperti kosong, merasakan kesepian yang begitu mendalam. Hidup ini seperti serba salah, saya yang sekarang betul-betul tak seceria saya beberapa tahun kebelakang, yang begitu mudahnya berbaur dengan siapapun yang baru dikenal, yang begitu luwes dan banyak bicara, sekarang saya menjadi seorang pendiam, pemurung dan penyendiri. Ada apa dengan diri ini? Saya tidak nyaman berada di lingkungan yang ramai, saya tidak suka aktif di social media, jarang membuka pesan-pesan yang masuk, karena saya ingin mnutup diri dan menghindar. Saya tidak ingin banyak orang tahu kondisi saya sekarang, menanyakan pertanyaan-pertanyaan yang tidak saya suka, saya betul-betul berubah!!!

Rasanya ingin kembali seperti dulu, tapi sepertinya itu sudah tidak mungkin, karena saya bukan Riska yang dulu. Ditengah kesepian ini, saya hanya bisa mengingat-Nya, saat berada diluar ruangan, saya hanya bisa menatap ke langit, bertasbih, merasakan kekuasaan-Nya, itu yang membuat saya tenang. Hal lain yang tak kalah penting adalah, perubahan ini membawa saya lebih dekat dengan keluarga, hal sekecil apapun yang terjadi, saya langsung mengabari Mamah, Bapak. Merekalah sumber motivasi saat ini, saat saya sudah menyerah, menangis dan ingin kembali pulang, mereka yang mengingatkan tujuan awal saya untuk pergi jauh.

Saat ini saya belum bisa bertemu mereka, saya sedang mengajukan perpanjangan student visa, semoga menghitung hari, saya diizinkan Alloh untuk pulang, melepas rindu bersama orang-orang tercinta, dan mengembalikan kembali diri ini agar sedikit bisa membuka diri. Saya sampaikan maaf juga untuk teman-teman, maafkan saya yang sekarang.

Ditengah hiruk pikuk kota, diri ini masih merasa sendiri


Salam rindu,

Neng.

Pengunjung Blog Saya

 

Coretan Riska Anjarsari Copyright © 2011 - |- Template created by O Pregador - |- Powered by Blogger Templates